A. Definisi Akhlak
Kata
akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun خُلُقٌ yang menurut bahasa berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.
Kata
tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun خَلْقٌ
yang berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq خَالِقٌ
yang berarti pencipta, demikian pula dengan makhluqun مَخْلُوْقٌ yang berarti yang diciptakan.
Perumusan
pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluk.
Ibnu
Athir menjelaskan bahwa:
“Hakikat
makna khuluq itu, ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan
sifat-sifatnya), sedang khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka,
warna kulit, tinggi rendahnya tubuh dan lain sebagainya).”
(Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 12)
Ibnu
Maskawaih memberikan definisi akhlak sebagai berikut:
حَالٌ لِلنَّفْسِ
دَاعِيَةٌ لَهَا اِلَى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ
Artinya:
“Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu).”
(Ibn Miskawaih, 1934 : 40)
Imam
Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:
اَلْخُلُقُ
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْءَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ الْاَفْعَالُ
بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُوِيَّةٍ.
Artinya:
“Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
(lebih dahulu).” (Imam al-Ghazali, t.t. : 56)
Prof.
Dr. Ahmad Amin memberikan definisi, bahwa yang disebut akhlak “Adatul-Iradah”,
atau kehendak yang dibiasakan. Definisi ini terdapat dalam suatu tulisannya
yang berbunyi:
عَرَّفَ
بَعْضُهُمُ الْخُلُقَ بِاَنَّهُ عَادَةُ الْاِرَادَةِ يَعْنِى اَنَّ الْاِرَادَةَ
اِذَااعْتَادَتْ شَيْأً فَعَادَتُهَا هِيَ الْمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ.
Artinya:
“Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak ialah
kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.”
Arti
kata kehendak dan kebiasaan dalam definisi Ahmad Amin ini adalah :
Kehendak
adalah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang. Kebiasaan
adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya.
Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan
dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar, dan kekuatan yang
lebih besar inilah dinamakan akhlak. (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 13)
Menurut Al-munawwir (1984) “Akhlak diartikan sebagai tabe’at,
karakter, perangai, watak yaitu sifat yang telah tertanam dengan kuat atau
mendarah daging pada diri seseorang lantaran factor pendidikan, pembiasaan,
pembinaan, pelatihan yang pernah ditekuninya.” (Drs. Enjang A.S., M.Ag.,
M.Si. dan Hajir Tajiri, M.Ag., 2009 : 133)
Menurut
Prof. KH. Farid Ma’ruf akhlak adalah “Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.” (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 14)
Menurut
Ibnu Taimiyah (Mahmud al-Mishri, 2009 : 6)
Akhlak berkaitan erat dengan iman karena iman terdiri atas beberapa unsur
berikut ini:
1. Berkeyakinan
bahwa Allah adalah Sang Pencipta satu-satunya, pemberi rezeki dan penguasa
seluruh kerajaan.
2. Mengenal
Allah dan meyakini bahwa hanya Allah SWT. yang patut disembah.
3. Cinta
kepada Allah melebihi segala cinta terhadap semua makhluk-Nya. Tidak ada cinta
yang dirasakan seorang hamba, kecuali didasarkan atas cintanya kepada Allah
SWT.
4. Cinta
hamba terhadap Tuhannya akan mengantarkannya pada tujuan yang satu, yaitu demi
mencapai ridha Allah SWT. baik terhadap hal-hal kecil maupun hal-hal besar
dalam kehidupan sehari-hari
5. Arahan
ini mengalahkan egoisme pribadi, nafsu keji dalam diri, dan segala tujuan semu
dunia. Kekuatan dasar ini yang memudahkan seseorang untuk melahirkan persepsi
objektif dan langsung atas pandangan terhadap esensi segala sesuatu.
Keseluruhan poin ini merupakan fondasi utama dalam tataran akhlak.
6. Ketika
telah berhasil tercipta suatu pandangan objektif dan langsung akan esensi
sesuatu maka perilaku dan perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak.
7. Dengan
kata lain, jika perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak, hal itu merupakan
pertanda bahwa dia telah melalui jalan-jalan yang harus ditempuh menuju
kesempurnaan manusia. (Mahmud al-Mishri, 2009 : 6)
Dr.
M Abdullah Dirroz, (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 14) mengemukakan definisi akhlak
sebagai berikut:
“Akhlak
adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal
akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).”
Selanjutnya
menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai
manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:
a. Perbuatan-perbuatan
itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
b. Perbuatan-perbuatan
itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya
tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga
menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan
lain sebagainya. (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 14)
Menurut Ibrahim Anis Akhlak adalah :
حَالٌ لِنَفْسِ
رَاسِخَةُ تَصْدُرُ عَنْهَا الْاَعْمَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرٍّ مِنْ غَيْرِ
حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
“Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
melahirkan bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan.” (Ibrahim
Anis, 1972 : 202)
Menurut Abd al-Hamid Yunus Akhlak adalah :
هِيَ صِفَاتُ
الْاِنْسَانِ الْاَدَبِيَّةُ
“Sifat-sifat manusia yang terdidik.” (Abd Al-Hamid Yunus, t.t. : 436)
Rachmat Djatnika mengemukakan bahwa Ilmu Akhlak itu mengandung
hal-hal sebagai berikut :
a) Menjelaskan pengertian baik dan buruk.
b) Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang atau
sebagian manusia terhadap sebagian yang lainnya.
c) Menjelaskan tujuan yang sebaiknya dicapai oleh manusia dengan
perbuatan-perbuatannya.
d) Menerangkan jalan yang harus dilalui dan diperbuat. (Dr. M.
Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 20)
Barnawi Umarie dalam buku Materi Akhlak, mengemukakan
bahwa “Ilmu Aklak adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan
yang buruk, terpuji dan tercela, tentang perbuatan dan perkataan manusia, lahir
dan batin.” (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 21)
Menurut Thaha Yahya Umar (1971:23) “Akhlak adalah peri
keadaan jiwa yang tertanam amat dalam, yang daripadanya lahir perbuatan dengan
mudah, tanpa memerlukan pikiran. Jika peri keadaan jiwa itu melahirkan
perbuatan-perbuatan yang baik, maka yang menjadi sumbernya itu adalah akhlak
yang baik. Jika perbuatan-perbuatan yang dilahirkan adalah perbuatan-perbuatan
yang buruk dan tercela menurut akal dan syara’ maka peri keadaan jiwa yang
menjadi sumbernya itu disebut akhlak yang buruk.” (Drs. Enjang A.S., M.Ag.,
M.Si. dan Hajir Tajiri, M.Ag., 2009 : 113)
Menurut Muhammad bin Ali Asy Syariif
Al Jurjani “Akhlak adalah sesuatu sifat (baik atau buruk) yang
tertanam kuat dalam diri yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah
dan ringan tanpa perlu berpikir dan merenung.”
Menurut Ahmad bin Mushthafa “Akhlak
adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis keutamaan dan keutamaan
itu adalah terwujudnya keseimbangan antara tiga
kekuatan; kekuatan berpikir,
kekuatan marah, dan kekuatan syahwat.”
Menurut Masdar Helmy (1973:22) “Akhlak adalah peri
keadaan jiwa yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan secara spontan. Peri keadaan
jiwa yang baik akanmelahirka perbuatan-perbuatan yang baik dan peri keadaan
jiwa yang buruk akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk pula.” (Drs.
Enjang A.S., M.Ag., M.Si. dan Hajir Tajiri, M.Ag., 2009 : 113)
Al-Jahiz mengatakan bahwa “Akhlak adalah keadaan jiwa
seseorang yang selalu mewarnai setiap tindakan dan perbuatannya, tanpa
pertimbangan lama ataupun keinginan.” (Mahmud al-Mishri, 2009 : 6)
Jadi dapat kita simpulkan dari pengertian-pengertian akhlak
diatas, bahwa akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang
daripadanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses
pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut
melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syara’
(hukum Islam), disebut akhlak yang baik. Sebaliknya jika perbuatan yang timbul
itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk.
B. Pembagian Akhlak
1. Pengertian Baik dan Buruk
Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini
disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut.
Perbedaan tolak ukur tersebut disebabkan karena adanya perbedaan agama,
kepercayaan, cara berfikir, ideologi, lingkungan hidup dan sebagainya.
Pengertian Baik secara bahasa diterjemahkan dari kata khair,
good. Louis Ma’luf mengatakan bahwa “yang disebut baik adalah sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan.” (Louis Ma’luf, t.t. : 198)
Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century
Dictionary, dijelaskan bahwa “baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa
keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan sebagainnya.” (Webster’s
New Twentieth Century Dictionary, t.t. : 789)
Menurut Hombay, AS.. EU Gaterby, dan H. Wakefield “Baik
adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan,
yang memberikan kepuasan.” (Hombay, AS.. EU Gaterby, H. Wakefield, 1973 :
430)
Dalam Webster’s World University Dictionary dituliskan
bahwa “Baik adalah sesuatu yang sesuai dengan keinginan.” (Webster’s
World University Dictionary, t.t. : 401)
Dalam buku Ensiklopedi Indonesia dikatakan bahwa “Baik adalah
sesuatu yang mendatangkan rahmat dan memberikan perasaan senang atau bahagia.” (Ensiklopedi
Indonesia Bagian I, t.t. : 362)
Kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang
luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai oleh manusia.
Pengertian baik menurut Ethik adalah “Sesuatu yang berharga
untuk suatu tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan,
apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah
buruk. ” (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 56)
Dengan mengetahui sesuatu yang bernilai baik, maka kita akan
mudah mengetahui yang buruk (Syarr). “Sesuatu yang tidak baik,
biasanya tidak sempurna kualitasnya, di bawah standar, kurang dalam nilai,
tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat
disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, dan bertentangan dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat.” (Asmaran As, 1992 : 26)
2. Ukuran Baik dan Buruk
Ada beberapa pendapat tentang ukuran baik dan buruk. Ada yang
menilainya dengan Agama, tradisi, rasio,
pengalaman, dan sebagainya.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa orang yang bertaklid saja dengan
mengesampingkan akal adalah bodoh, sementara orang yang hanya merasa cukup
dengan akalnya saja, lepas dari cahaya Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka dia
tertipu.
Apabila akhlak disamakan dengan etika, maka apa yang disebut
filsafat etika tentu saja sama dengan filsafat akhlak. Oleh karena itu, banyak
pendapat mengatakan bahwa didalam filsafat akhlak juga ada bermacam-macam
aliran. Berikut ini penulis mencoba menguraikan beberapa aliran (paham) dalam
filsafat etika berdasarkan buku Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup, 2005 : 108-110.
1. Tradisionalisme
Paham ini mengatakan bahwa yang menjadi ukuran norma baik dan
buruk itu adalah tradisi. Di sini, adat kebiasaan dijadikan norma oleh suatu
kelompok masyarakat. Tradisi dan adat kebiasaan terkadang tidak sesuai dengan
moralitas dan nilai-nilai agama. Tradisi dan adat kebiasaan yang sudah ada sejak
nenek moyang dianggap sebagai kebenaran dan dilanjutkan secara turun-temurun
dan tidak boleh dilanggar seperti tradisi “nyalin” di Jawa Barat. (Dr.
M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 108)
2. Rasionalisme
Paham ini menganggap bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral.
Rasio berada di atas segala-galanya sehingga mampu menentukan mana yang baik
dan mana yang buruk. Baik dan buruk tergantung kepada penilaian rasio, meskipun
tidak sesuai dengan Agama. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag.,
2005 : 108)
3. Empirisme
Paham ini menganggap bahwa pengalaman manusia adalah
satu-satunya alat yang terpercaya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 108)
4. Intuisionisme
Paham ini mengatakan bahwa sumber pengetahuan dan juga penilaian
yang baik dan buruk itu adalah intuisi (bisikan kalbu). Ada orang yang
menamakannya kekuatan batin atau hati nurani. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M.
Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 108)
5. Hedonisme
Paham ini mengatakan bahwa kebahagiaanlah yang menjadi dasar
norma baik atau buruk. Suatu perbuatan dikatakan baik jika mendatangkan
kebahagiaan, dan sebaliknya perbuatan dikatakan buruk jika mendatangkan
penderitaan. Kebahagiaan ini bersifat relative, dan pengikut aliran ini banyak
sekali yang berpaham hedonism egoistis yaitu mengejar kebahagiaan (lebih tepat
“kesenangan duniawi”) yang bersifat individual setuntas-tuntasnya. Tokoh
pertama aliran hedonisme adalah Epicurus dan Thomas Hobbes. Adapun tokoh
hedonism universal adalah Bentham dan John Stuart Mill. (Dr. M. Solihin, M.Ag.
dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 109)
6. Evolusionisme
Paham ini mengatakan bahwa moralitas tumbuh dan berkembang
secara berangsur-angsur dan meningkat sedikit demi sedikit. Ia berproses terus
menuju idealism luhur yang menjadi tujuan hidup. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M.
Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 109)
7. Idealisme
Paham ini berpendapat bahwa perbuatan manusia harus berdasarkan
prinsip keruhanian yang tinggi, bukan berdasarkan kausalitas verbal yang lahir.
Perbuatan yang baik adalah yang bertumpu pada kemampuan dan kesadaran diri
sendiri bukan karena anjuran orang atau menginginkan pujian orang. Faktor yang
mempengaruhi perbuatan manusia itu adalah kemauan dan kewajiban. (Dr. M.
Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 109)
8. Fitalisme
Paham ini mengatakan bahwa kebaikan dapat dipaksakan agar
berlaku dan ditaati oleh orang-orang, yang diharapkan selanjutnya tidak terasa
sebagai paksaan dan tekanan. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag.,
2005 : 110)
9. Utilitarisme
Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang bermanfaat
hasilnya, dan yang buruk adalah yang tidak bermanfaat hasilnya. Manfaat disini
adalah kebahagiaan untuk sebanyak-banyak manusia dari segi jumlah atau nilai. (Dr.
M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 110)
10. Theologia
Menurut paham ini, perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan
instruksi Tuhan dan yang tidak baik adalah yang berlawanan dengan perintah-Nya.
(Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 110)
11. Naturalisme
Paham ini berpendapat bahwa manusia bisa bahagia jika menurutkan
panggilan fitrahnya lajir dan batin. Menurut naturalism, norma baik dan
buruk dapat dicari dalam alam kita ini dan bukan problema yang terjadi diluar
realita. Sedangkan aliran methafisika berpendapat bahwa norma itu tidak
akan dapat dicari dan dirumuskan didunia ini. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M.
Rosyid Anwar, S.Ag., 2005 : 110)
12. Ajaran Islam
Menurut paham ini, penentuan baik dan buruk dalam ajaran Islam
harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ada beberapa istilah
yang mengacu kepada yang baik, diantaranya al-hasanah lawannya al-sayyi’ah.
Al-thayyibah lawannya al-qabihah, al-khair lawannya al-syarr,
al-mahmudah, al-karimah, dan al-birr. Adanya berbagai istilah
kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan hadits itu
menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam
jauh lebih lengkap dan komprehensif karena meliputi kebaikan yang bermanfaat
bagi fisik, akal, ruhani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat, serta
akhlak yang mulia.
Meskipun begitu, secara obyektif, kebenaran itu hanya ada satu,
tak ada dua kebenaran yang bertentangan. Bila ada dua kebenaran yang
bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya salah.
Secara obyektif, peraturan juga hanya ada satu dan tak mungkin mengandung
hal-hal yang berlawanan didalamnya. Pada hakikatnya yang benar itu pasti dan
hanya satu. Kebenaran yang pasti adalah yang didasarkan pada peraturan yang
dibuat oleh Allah SWT. Dzat yang Maha Esa. (Dr. M. Solihin, M.Ag. dan M. Rosyid Anwar,
S.Ag., 2005 : 110)
3. Akhlak Mahmudah dan Mazmumah
Ada dua penggolongan akhlak secara garis besar yaitu: akhlak
mahmudah (fadilah) dan akhlak mazmumah (qabihah). Di samping istilah tersebut
Imam al-Ghazali menggunakan juga istilah “munjiyat” untuk akhlak
mahmudah dan “muhlihat” untuk yang mazmumah.
Dikalangan ahli tasawuf, kita mengenal system pembinaan mental,
dengan istilah: takhalli, Tahalli dan Tajalli.
Takhalli adalah mengosongkan atau membersihkan jiwa dari
sifat-sifat tercela, karena sifat-sifat tercela itulah yang dapat mengotori
jiwa manusia.
Dan Tahalli adalah mengisi jiwa (yang telah kosong dari
sifat-sifat tercela) dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).
Jadi dalam rangka pembinaan mental, pensucian jiwa hingga dapat
berada dekat dengan Tuhan, maka pertama kali yang dilakukan adalah pengosongan
atau pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, setelah itu, jiwa yang kosong
diisilah dengan sifat-sifat yang terpuji, hingga akhirnya sampailah pada
tingkat berikutnya dengan apa yang disebut “Tajalli”, yakni
tersingkapnya tabir sehingga diperoleh pancaran Nur Illahi.
Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah segala
macam sikap dan tingkah laku yang baik (yang terpuji). Sebaliknya segala macam
sikap dan tingkah laku yang tercela disebut dengan akhlak mazmumah. Akhlak
mahmudah tentunya dilahirkan oleh sifat-sifat mahmudah yang terpendam dalam
jiwa manusia, demikian pula akhlak mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat
mazmumah. Oleh karena itu sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa sikap
dan tingkah laku yang lahir adalah merupakan cermin/gambaran daripada
sifat/kelakuan batin.
Adapun akhlak atau sifat-sifat mahmudah sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ahli akhlak (Drs. H. A. Mustofa, 2005 : 198) antara lain:
1.
Al-Amanah
(setia, jujur, dapat dipercaya)
2.
Al-Sidqu
(benar, jujur)
3.
Al-Adl
(adil)
4.
Al-Afwu
(pemaaf)
5.
Al-Alifah
(disenangi)
6.
Al-Wafa’
(menepati janji)
7.
Al-Ifafah
(memelihara diri)
8.
Al-Haya’
(malu)
9.
As-Syajaah
(berani)
10. Al-Quwwah (kuat)
11. As-Sabru (Sabar)
12. Ar-Rahmah (kasih sayang)
13. As-Sakha’u (murah hati)
14. At-Ta’awun (penolong/tolong menolong)
15. Al-Islah (damai)
16. Al-Ikha’ (persaudaraan)
17. Al-Iqtisad (hemat)
18. Silaturrahmi (menyambung tali persaudaraan)
19. Ad-Diyafah (menghormati tamu)
20. At-Tawadu’ (merendahkan diri)
21. Al-Ihsan (berbuat baik)
22. Al-Khusyu’ (menundukkan diri)
23. Al-Muru’ah (berbudi tinggi)
24. An-Nazafah (memelihara kebersihan badan)
25. As-Salihah (cenderung kepada kebaikan)
26. Al-Qanaah (merasa cukup dengan apa yang ada)
27. As-Sakinah (tenang, tenteram)
28. Ar-Rifqu (lemah lembut)
29. Anisatun (bermuka manis)
30. Al-Khair (kebaikan, baik)
31. Al-Hilmu (menahan diri dari berlaku maksiat)
32. At-Tadarru’ (merendahkan diri kepada Allah)
33. ‘Izzatun Nafsi (berjiwa kuat)
Sedangkan yang termasuk akhlak mazmumah (Drs. H. A. Mustofa,
2005 : 199) antara lain:
1. Ananiah (egoistis)
2. Al-Bagyu (lacur)
3. Al-Bukhl (kikir)
4. Al-Buhtan (dusta)
5. Al-Hamr (peminum khamr)
6. Al-Khianah (khianat)
7. Az-Zulmu (aniaya)
8. Al-Jubn (pengecut)
9. Al-Fawahisy (dosa besar)
10. Al-Gaddab (pemarah)
11. Al-Gasysyu (curang dan culas)
12. Al-Gibah (mengumpat)
13. An-Namumah (adu domba)
14. Al-Guyur (menipu memperdaya)
15. Al-Hasd (dengki)
16. Al-Istikbar (sombong)
17. Al-Kufran (mengingkari nikmat)
18. Al-Liwat (homosex)
19. Ar-Riya’ (ingin dipuji)
20. As-Sum’ah (ingin didengar kelebihannya)
21. Ar-Riba (makan riba)
22. As-Sikhiriyyah (berolok-olok)
23. As-Sirqah (mencuri)
24. As-Syahwat (mengikuti hawa nafsu)
25. At Tabzir (boros)
26. Al-‘Ajalah (tergopoh-gopoh)
27. Qatlun Nafsi (membunuh)
28. Al-Makru (penipuan)
29. Al-Kazbu (dusta)
30. Al-Israf (berlebih-lebihan)
31. Al-Ifsad (berbuat kerusakan)
32. Al-Hiqdu (dendam)
33. Al-Gina (merasa tidak perlu pada yang lain)
C. Ciri-ciri Akhlakul Karimah
Imam al-Ghazali menuturkan bahwa sebagian ulama menyebutkan
beberapa ciri akhlakul karimah, diantaranya adalah :
“merasa malu untuk
melakukan keburukan, Tidak senang menyakiti, Berkelakuan baik, Berkata jujur, Tidak
banyak bicara, Banyak berkarya, Sedikit melakukan kesalahan (yang berulang), Tidak
banyak melakukan intervensi, Tenang, Sabar, suka bersyukur, Ridha akan realitas
kehidupan (pahit maupun manis), Bijaksana dan lemah-lembut, Pandai menjaga
kesucian dan harga diri, Penyayang, Tidak senang melaknati sesuatu atau orang
lain, Tidak mencela, Tidak suka mengadu domba, Tidak memfitnah, Tidak
tergesa-gesa, Tidak dengki, Tidak kikir, Tidak bermanis-manis dibibir dan wajah
namun dengki di hati, Mencintai dan membenci orang lain karena Allah, Serta
Ridha dan marah karena Allah.” (Imam al-Ghazali, t.t. : 75)
Yusuf bin Asbath (Mahmud al-Mishri Abu Ammar, tt : 9) menyebutkan
bahwa akhlakul karimah terangkum dalam sepuluh hal berikut:
1. Tidak suka memperuncing perbedaan pendapat
2. Bersikap adil
3. Menjauhkan diri dari keramaian yang tidak berfaedah
4. Memperbaiki apa yang tampak tidak baik
5. Tidak sungkan untuk meminta maaf
6. Tabah menghadapi segala kepedihan dan kesulitan
7. Jika menghadapi kegagalan, tidak menyalahkan orang lain, tetapi
justru mengintrospeksi diri sendiri
8. Mencari-cari kekurangan diri sendiri, bukan kekurangan orang
lain.
9. Murah senyum kepada semua orang, berapapun umurnya
10. Bertutur santun kepada semua orang, berapapun umurnya.
Sahal memaparkan asumsinya ketika ditanya tentang akhlakul
karimah. Ia berkata “Tingkatan dasar dari Akhlak terpuji ini adalah mampu
bertahan dari cobaan, tidak membahas kejahatan orang lain, dan berlemah lembut
kepada orang yang telah berlaku zalim kepadanya, bahkan memohonkan ampunan
Allah untuknya.” (Imam al-Ghazali, t.t. : 75)
Menurut M. Abdul Mujieb Ahmad Ismail dan Syafi’ah (M. Abdul
Mujieb, Ahmad Ismail dan Syafi’ah, 2009 : 39) Ciri-ciri Akhlak Islam adalah:
1. Kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyyah al-mualaqah),
yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak islam merupakan kebaikan yang
murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat, di dalam lingkungan,
keadaan, waktu dan tempat apa pun.
2. Kebaikannya bersifat menyeluruh (as-salahiyyah al-‘ammah),
yaitu kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh
umat manusia di segala zaman dan di semua tempat.
3. Tetap, langgeng, dan mantap, yaitu kebaikan yang terkandung
didalamnya bersifat tetap, tidak berubah oleh perubahan waktu dan tempat atau
perubahan kehidupan masyarakat.
4. Kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab)
yaitu kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan hokum yang harus
dilaksanakan sehingga ada sanksi hukum tertentu bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya.
5. Pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhitah).
Karena akhlak Islam bersumber dari Allah SWT. maka pengaruhnya lebih kuat dari
akhlak ciptaan manusia sehingga seseorang tidak berani melanggarnya kecuali
setelah ragu-ragu dan kemudian akan menyesali perbuatannya untuk selanjutnya
bertobat dengan sungguh-sungguh dan tidak melakukan perbuatan yang salah lagi.
Ini terjadi karena agama merupakan pengawas yang kuat. Pengawas lainnya adalah
hati nurani yang hidup didasarkan pada agama dan akal sehat yang dibimbing oleh
agama serta diberi petunjuk.
D. Klasifikasi Akhlakul Karimah
Ibnu Qayyim menuturkan bahwa seorang ulama membagi akhlak mulia
dalam dua klasifikasi, yaitu akhlak mulia kepada Allah sang Maha Pencipta dan
akhlak mulia kepada para makhluk-Nya. (Mahmud al-Mishri Abu Ammar, tt : 11)
Akhlak mulia kepada Allah bermakna menyakini segala sesuatu yang
berasal dari diri kita pasti memungkinkan terjadinya kesalahan sehingga kita
perlu memohon ampunan. Adapun segala sesuatu yang berasal dari Allah SWT. patut
disyukuri. Jadi, kita harus senantiasa bersyukur, memohon ampunan-Nya, serta
berusaha menelaah dan mengintrospeksi kekurangan diri.
Akhlak mulia kepada makhluk terangkum dalam dua hal, yaitu
banyak mengulurkan tangan untuk amal kebajikan serat menahan diri dari
perkataan dan perbuatan tercela. Kedua hal ini mudah dilakukan jika memiliki
lima syarat, yaitu ilmu, kemurahan hati, kesabaran, kesehatan jasmani, dan
pemahaman yang benar tentang Islam. (Mahmud al-Mishri Abu Ammar, tt : 11)
Dengan ilmu, seseorang dapat mengenal dan mengetahui akhlak
mulia dan akhlak tercela.
Kedermawanan adalah sikap kemudahan memberikan sesuatu kepada
orang lain sehingga menjadikan nafsunya bersedia mengikuti kata hati yang baik.
Sabar merupakan sifat yang sangat penting karena jika seorang
hamba tidak dapat bersabar atas apa yang menimpa dirinya, ia tidak akan
berhasil mencapai derajat luhur.
Fisik yang sehat dibutuhkan karena Allah telah menciptakan
manusia dengan karakteristik mudah mencerna dan cepat meresap nilai-nilai
kebajikan.
Memahami Islam dengan baik juga dibutuhkan karena hal itu
merupakan dasar untuk melakukan sifat-sifat mulia. Dengan begitu, tindakan yang
didasarkan pada akhlak mulia dapat “diakui” oleh Sang Pencipta. Semakin kuat
dan mantap keyakinan seseorang bahwa kelak akan memperoleh pahala yang pasti
diterimanya, semakin mudah pula ia melewati latihan berakhlak mulia. Di samping
itu, ia semakin mudah menikmati ketentraman hati.
Sunggauh, Allah adalah Zat yang Maha Memberi Petunjuk dan
Pertolongan. (Ibnu Qayyim, t.t. : 130)
E. Manfa’at Akhlakul Karimah
Akhlak mulia mendatangkan banyak manfa’at, dalam buku Ensiklopedi
Akhlak Muhammad SAW dituliskan ada beberapa manfaat Akhlak Mulia, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Akhlak mulia sebagai cara terbaik untuk makin mendekatkan diri
dengan Allah. Hal itu krena memang Allah yang memerintahkan seluruh hamba-Nya
untuk berakhlak mulia. Jadi, setiap hamba yang berprilaku dengan akhlak mul;ia
berarti telah melakukan sebagian titah Allah SWT. Yang Mulia.
Allah SWT. berfirman :
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta jangan pedulikan orang-ornag yang bodoh.” (QS. Al-A’raf/7 : 199)
Abdullah bin Zubair r.a. menambahkan, “makna ayat ini adalah
Allah memerintahkan Rasul-Nya SAW. untuk membuka pintu maaf sebesar-besarnya
atas segala prilaku manusia.” (HR. Bukhari; hadits sahih)
2. Berakhlak mulia berarti mentaati Nabi SAW. beliau bersabda :
... وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
“… dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad: hadits hasan)
3. Akhlak mulia sebagai cara menghapus dosa. Rasul SAW. bersabda:
...وَأَتْبِعِ
السَّيِّـةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا.....
“…Ikutilah perbuatan
buruk dengan amal baik niscaya amal baik itu akan menghapus perbuatan buruk
tersebut….” (HR. Tirmidzi dan Ahmad:
hadits hasan)
4. Akhlak mulia sebagai cara meraih ampunan Allah.
Hudzaifah bin Yaman r.a. meriwayatkan bahwa Rasul SAW. bersabda:
أُتِيَ اللهُ
بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ : مَاذَا عَمِلْتَ فِيْ
الدُّنْيَا؟ - قَالَ وَلَا يَكْتُمُوْنَ اللهَ حَدِيْثًا – قَالَ: يَارَبِّ
آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِيْ الْجَوَازُ
فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوْسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللهُ:
أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِيْ.
“Di akhirat nanti, ketika seorang hamba
Allah yang telah dikaruniai harta ditanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat di
dunia?’ Rasul lalu menyebutkan firman Allah, ‘…padahal mereka tidak dapat
menyembunyikan sesuatu kejadian apa pun dari Allah,’ (an-Nisaa/4 : 42) hamba tadi menjawab, ‘wahai Tuhanku, Engkau
telah mengkaruniakan kepadaku sebagian harta-Mu yang telah kugunakan dalam
perniagaan. Aku menjual barang-barang kepada manusia. Aku selalu memberi maaf
dan bersikap toleran kepada mereka. Aku mempermudah jual beli kepada orang
mampu dan aku menangguhkan pembayaran mereka yang kurang mampu.’ Allah berkata,
‘ Sungguh, Aku lebih berhak memaafkan hamba-Ku daripadamu. Maafkanlah hamba-Ku
ini’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Akhlak mulia sebagai cara meraih cinta Allah SWT. Rasulullah
SAW. bersabda:
اَحَبُّ عِبَادِ
اللهِ اِلَى اللهِ اَحْسَنهُمْ خُلُقًا.
“Hamba yang paling dicintai Allah SWT.
adalah hamba yang memiliki akhlak terpuji”
(HR. Hakim dan Thabrani; hadits sahih)
Abdullah bin Amr r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda :
اِنَّ
مِنْ اَحَبِّكُمْ اِلَيَّ وَاَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
اَحْسَنَكُمْ اَخْلَاقًا.
“Sungguh, orang yang paling kucintai dan
paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di
antara kalian.” (HR. Tirmidzi; hadits
sahih)
6. Akhlak mulia merupakan amal terbaik.
Usamah bin Syarik r.a. meriwaytkan bahwa ketika Rasulullah SAW.
ditanya, “Wahai Rasulullah, apa hal terbaik yang dikaruniakan kepada
manusia? Beliau menjawab, حُسْنُ الْخُلُقِ.’budi luhur’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad; hadits sahih)
Anas bin Malik r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasul SAW. pernah
bertanya kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar! Maukah kutunjukkan kepadamu dua
kebajikan yang sangat ringan dilakukan, namun timbangannya dalam neraca amal
kebajikan jauh lebih berat dibandingkan dengan amal yang lain?”
Abu Dzar, menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau
lalu bersabda:
عَلَيْكَ بِحُسْنِ
الْخُلُقِ وَطُوْلِ الصَّمْتِ, فَوَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ, مَا عَمِلَ الْخَلَاءِقُ
بِمِثْلِهِمَا.
“Hendaklah kamu berakhlak mulia dan lebih
banyak diam (dari hal yang tidak berguna). Demi Zat yang jiwaku ada di dalam
genggaman (kekuasaan)-Nya, betapa agung perangai yang dihiasi keduanya.” (HR. Abu Ya’la dan Thabrani; hadits hasan)
7.
Hamba
yang berakhlak mulia menyandang gelar “Hamba Terbaik”.
Abdullah bin Amar r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
اِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ اَحَاسِنَكُمْ اَخْلَاقًا.
“Sungguh, orang yang paling baik di antara
kalian adalah orang yang paling mulia akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8.
Orang
yang berakhlak mulia mudah berinteraksi dengan orang lain.
Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ
الَّذِيْ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ.
“(Orang yang terbaik diantara kalian
adalah) seorang mukmin yang selalu bersikap ramah dan mudah menerima orang lain
(bergaul). Seseorang yang tidak ramah dan sulit menerima orang lain tidak
memiliki nilai baik sedikitpun.” (HR.
Ahmad; hadits sahih)
9.
Akhlak
mulia dapat memperbaiki hubungan seseorang dengan sesamanya.
Ibnu
Qayyim menuturkan bahwa Rasulullah SAW. berhasil memadukan ketakwaan kepada
Allah SWT. dan akhlak mulia. Rasulullah SAW. melakukan hal ini karena dengan
takwa kepada Allah SWT. seorang hamba dapat memperbaiki hubungannya dengan
Tuhannya (perbaikan interaksi vertikal). Adapun dengan akhlak mulia, seseorang
dapat memperbaiki hubungannya dengan sesame manusia. Jadi, ketakwaan terhadap
Allah SWT. melahirkan cinta kepada-Nya, sedangkan budi luhur mengajak manusia
untuk mencintainya. (Al-Fawa’id : 75)
10. Akhlak mulia sebagai modal untuk memperluas jaringan
persahabatan dan memperkecil peluang permusuhan.
Imam Marudi berkata, “Bila perangai seseorang baik maka ia
akan memiliki benyak teman dan sedikit musuh, perkara yang sulit akan menjadi
mudah baginya, serta hati yang keras pun akan lunak terhadapnya.”
(Adabud-Dunya Wad-Din : 237)
11. Akhlak mulia dapat mengubah musuh menjadi kawan.
Allah SWT. telah berfirman
:
“Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang
besar.” (QS. Fushilat/41
: 34-35)
12. Akhlak mulia sebagai bukti nyata kesempurnaan iman.
Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah orang yang berakhlak paling mulia.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad; hadits sahih)
Ibnu Qayyim menuturkan, “keseluruhan isi Agama Islam merupakan
akhlak. Jadi, barang siapa yang akhlaknya lebih luhur daripada dirimu, berarti
ia memiliki derajat agama yang lebih tinggi daripada dirimu.”
(Madarijus-Salikin : 294)
13. Allah membela hamba-Nya yang berakhlak mulia.
Ketika mengabarkan kepada
khadijah bahwa Allah telah menurunkan wahyu-Nya, beliau berkata :
لَقَدْ خَشِيْتُ
عَلَى نَفْسِى.
“Sungguh, aku khawatir terhadap diriku.”
Khadijah binti Khuwailid menghibur dengan berkata, “Tidak,
wahai Muhammad! Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan pernah membuatmu
kecewa.” Khadijah kemudian menyebutkan beberapa alasan perkataannya, “Demi
Allah, engkau telah menyambung tali silaturahmi, selalu berkata jujur,
menanggung keluarga-keluarga yang kekurangan, membantu orang-orang yang
tertimpa musibah, dan menjamu para tamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi menafsirkan perkataan Khadijah itu dengan berkata, “Hal
itu bermakna bahwa Muhammad SAW. tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak baik
karena Allah telah melekatkan akhlak mulia pada diri beliau. Beberapa sifat
yang disebutkan Khadijah itu hanyalah sebagian dari perangai mulia beliau. Kita
dapat menarik kesimpulan bahwa akhlak mulia dan sifat terpuji dapat dijadikan
sebagai penolak bala dan hal-hal yang tidak diinginkan.” (Syarh Nawawi ‘ala
Muslim, : 202)
إِنَّ
الْبَرِّيَّةَ يَوْمَ مَبْعَثَ أَحْمَدَ.
حَالَهَا نَظَرَ الْإِلَهُ
لَهَا فَبَدَّلَ.
بَلْ كَرَّمَ
الْإِنْسَانَ حِيْنَ اخْتَارَمِنْ.
خَيْرِالْبَرِيَّةِ
نَجْمِهَا وَهِلَا لِهَا.
Pada hari Muhammad diutus
kepada umat manusia
Sungguh, Allah memperhatikan mereka lagi berkenan mengubah
kondisi mereka
Bahkan Allah juga telah
memuliakan umat manusia
Ketika Dia memilih utusan dari sosok bintang dan bulan sabit
pilihan. (Mahmud al-Mishri Abu Ammar, tt :
31)
Ibnu Dagnah menyebutkan sifat-sifat Abu Bakar r.a. sama seperti
sifat-sifat yang disebut Khadijah r.a. ketika menyifati Rasulullah SAW.
Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ketika sampai di
Birk al-Gumad dalam perjalanan hijrah ke negri Habasyah, Abu Bakar bertemu
dengan Ibnu Dagnah –pemuka daerah tersebut- yang menyapanya, ‘hendak kemana
engkau, wahai Abu Bakar?’ Abu Bakar menjawab,’Aku diusir kaumku, jadi aku
berjalan di bumi Allah mencari tempat lapang untuk beribadah kepada Tuhanku’.
Ibnu Dagnah pun berkata,’Orang seperti engkau sama sekali tidak pantas pergi
dari tanah tercintanya, apalagi dipaksa keluar. Kamu telah menyambung tali
silaturahmi, selalu berkata jujur, menanggung keluarga-keluarga yang
kekurangan, dan menjamu para tamu. Akulah orang yang akan memberimu keamanan.
Kembalilah engkau ke tanahmu dan beribadahlah kepada Tuhanmu di sana.’ Abu
Bakar pun kembali ke Mekah.” (HR. Bukhari; hadits sahih)
Ibnu Hajar berkomentar, “Ucapan Ibnu Dagnah tentang Abu Bakar
r.a. yang seakan meniru ucapan Khadijah tentang suaminya memperlihatkan
keagungan dan kemuliaan sifat Abu Bakar.” (Al-Fath, : 640)
Ibnu Hajar juga pernah berkata, “Di antara bukti kemuliaan
sifat Abu Bakar adalah ucapan Ibnu Dagnah yang hamper sama dengan ucapan
Khadijah pada masa awal kenabian. Ucapan dan pikiran Ibnu Dagnah dan Khadijah
bisa sama tanpa bicara, komunikasi, ataupun kolusi. Hal ini merupakan titik
puncak pujian terhadap akhlak mulia karena sejak masih kecil pun Nabi SAW.
sudah memperlihtkan sifat manusia paling sempurna.” (Al-Ishabah, : 104)
Abu Bakar dan kicauan merdu akan sosokmu
Sungguh telah lama beredar
Dikeramaian penduduk kota Maupun pelosok desa
Seorang tuan amat gagah lagi pemberani
sang mentari mendengarkan seksama kemuliaannya
Bintang pun bersimpati kemudian bulan mengikuti
Sosok mulia tertinggi dan teragung
Riwayat tentangnya menghiasi kediaman bani Rabi’ah dan Mudhar. (Mahmud al-Mishri Abu Ammar, tt : 32)
14. Akhlak mulia dapat menjadi penghalang dari jalan api neraka.
Nabi SAW. bersabda :
أَلاَأُخْبِرُكُمْ
بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النّارُ؟ عَلَى
كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ.
“Apakah kalian ingin mengetahui siapa saja
yang diharamkan untuk tercebur ke dalam neraka? (yaitu) setiap muslim yang
dekat, mudah, lagi ramah.”
15. Akhlak mulia merupakan amal yang paling berat pada ketika
ditimbang pada hari Kiamat.
Abu Darda r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
مَامِنْ شَيْءٍ
أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ
الْخُلُقِ.
“Tidak ada satu amal pun yang lebih berat
daripada akhlak mulia dalam neraca seorang hamba mukmmin pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi; hadits sahih)
16. Akhlak mulia sebagai jalan menuju kenikmatan surga.
Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa ketika ditanya hal apakah yang paling banyak menjadi
penyebab orang masuk kedalam surga, Rasulullah SAW. bersabda :
تَقْوَى اللهِ
وَحُسْنُ الْخُلُقِ.
“Takwa kepada Allah dan Akhlak mulia.”
Ketika ditanya hal apakah yang paling banyak menjadi penyebab
orang masuk kedalam neraka, beliau menjawab :
اَلْفَمُ وَ
الْفَرْجُ.
“Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad; hadits hasan)
17. Akhlak mulia dapat mengangkat derajat seseorang di surga.
Seorang mukmin yang saleh
diizinkan naik ke Syurga yang lebih tinggi karena memiliki akhlak yang mulia.
Dengan begitu, ia bisa bersama-sama dengan seluruh hamba Allah yang shaleh,
ikhlas, dan tidak pernah berhenti berpuasa dan bershalat malam. (Mahmud
al-Mishri Abu Ammar, tt : 33)
Aisyah r.a. meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّاءِمِ الْقَاءِمِ.
“Sesungguhnya seorang hamba yang memiliki
akhlak mulia dapat mencapai derajat hamba yang melanggengkan puasa dan
senantiasa qiyamulail.” (HR. Abu Dawud;
hadits sahih)
18. Rasul menjamin orang yang berakhlak mulia memperoleh rumah di
surga.
Abu Umamah al-Bahili
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
أَنَا
زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الْجَنَّةِ, وَبَيْتٍ فِيْ وَسَطَ الْجَنَّةِ,
وَبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ
مُحِقًّا, وَتَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا, وَحَسُنَ خُلُقُهُ.
“Aku adalah penjamin bagi seseorang untuk
mendapatkan istana di tepi surga, istana di tengah surga, dan istana di bagian
atas surga. Yaitu jika seseorang tidak suka melakukan debat kusir, meski
bahan-bahan ucapannya berdasarkan kebenaran; jika seseorang meninggalkan dusta,
meski tengah bergurau; dan orang yang berakhlak mulia.” (HR. Abu Dawud; hadits hasan)
Abdullah bi Amar r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda :
إِنَّ مِنْ
أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا.
“Sungguh, orang yang paling kucintai dan
paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di
antara kalian.” (HR. Tirmidzi; hadits
sahih)
Faedah-faedah yang telah disebutkan
itu hanya sebagian dari keseluruhan faedah yang akan diterima seorang hamba
yang memiliki akhlak mulia. Jika memang keuntungan-keuntungan tersebut belum
terwujud, ia tetap akan memperoleh hadiah terbesar, yaitu meraih cinta Allah
SWT. didekatkan dengan Rasul-Nya SAW. dan dibuatkan rumah yang tidak jauh dari
rumah beliau di surga. Ketiga hal ini tentu lebih dari cukup.
bagus pak tulisanya.
BalasHapusngomong-ngomong kenapa yang komen diatas aki-aki semua ya :v
nice info sangat bagus sekali infonya
BalasHapusKNIC Industrial Park