Secara etimologi,
sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang disedekahkan. Kata tersebut
diambil dari unsur huruf Shad, dal dan
qaf, serta dari unsur ash-shidq (benar; jujur). Sebab, sedekah
itu menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah.
Al-Jurjani berkata, “Sedekah ialah sebuah pemberian yang
diberikan karena mengharap pahala dari Allah”. Sementara Ar-Raghib
menuturkan, “Sedekah ialah harta yang
dikeluarkan seseorang dengan maksud ibadah, seperti zakat. Akan tetapi, sedekah
dasarnya disyari’atkan untuk suatu hal yang disunnahkan, sedangkan zakat untuk
hal yang diwajibkan”.[1]
An-Nawawi berkata, “Dinamakan sedekah karena ia membuktikan kejujuran
pelakunya dan kebenaran imannya secara lahir batin. Dengan demikian, sedekah
merupakan kejujuran dan kebenaran iman orang yang bersangkutan”.[2]
Umar r.a. berkata, “Amal itu saling berbangga diri satu sama
lain. Sedekah berkata, ‘saya ialah yang terbaik diantara kalian, saya ialah
yang terbaik diantara kalian’”.[3]
Abdul Aziz bin Umair berkata, “Shalat
akan mengantarkanmu menuju setengah perjalanan, puasa akan mengantarkanmu
sampai depan pintu sang Raja, Allah, sedangkan sedekah akan memasukkanmu (untuk
bertemu) dengan-Nya”.[4]
Ibnu Abi Al-Ja’d
berkata, “Sedekah itu menghilangkan tujuh
puluh pintu keburukan”.[5]
Yahya bin Muadz berkata, “Saya tidak
mengetahui suatu biji yang beratnya mengimbangi gunung dunia, kecuali sedekah”.[6]
Asy-Sya’bi berkata, “Barang siapa yang menilai dirinya tidak
lebih membutuhkan pahala sedekah daripada seorang fakir yang membutuhkan
sedekah itu, sebenarnya ia telah menggugurkan pahala sedekahnya dan memukul
wajahnya sendiri dengan sedekah itu”.[7]
Al-Laits bin Sa’ad
berkata, “Barang siapa mengambil suatu
sedekah atau hadiah dariku, hak dirinya atas diriku lebih besar daripada hakku
atas dirinya. Karena ia telah menerima amalan yang mendekatkanku kepada Allah”.[8]
Al-Fudhail bin Iyadh
pernah berkata kepada orang-orang yang menerima sedekah, “Mereka membawakan perbekalan-perbekalan kita ke akhirat tanpa upah
sedikitpun, hingga mereka meletakkannya di atas timbangan dihadapan Allah”.[9]
Ali bin Abi Thalib r.a.
menuturkan, “Barang siapa yang diberi harta
oleh Allah, hendaklah ia menyambung kerabatnya dengan harta itu, memperindah
jamuan untuk tamunya, menolong orang yang membutuhkannya, membebaskan tawanan,
ibnu sabil, orang fakir miskin, mujahidin, dan bersabar atas musibah yang
menimpa hartanya. Sebab, dengan hal-hal itu, yang bersangkutan akan mendapatkan
kemuliaan dunia dan akhirat”.[10]
Abu Hatim berkata, “Kekikiran ialah sebuah pohon di neraka,
sedangkan ranting-rantingnya ada di dunia. Barangsiapa bergantungan pada salah
satu ranting-ranting itu, ia akan terjerumus ke dalam neraka. Hal itu
sebagaimana kedermawanan ialah sebuah pohon di surga, yang ranting-rantingnya
berada di dunia. Barangsiapa bergantungan pada salah satu ranting-rantingnya,
ia akan dibawa menuju surga, dan surga itu ialah tempat orang-orang dermawan”.[11]
Seorang saleh bila
didatangi orang fakir yang meminta sedekah berkata, “Selamat datang wahai orang yang membawa perbekalan kami untuk menuju
Rabb kami!” Maksud perbekalan itu ialah kebaikan dan amalan-amalan yang
mendekatkan diri menuju keridhaan Allah.
Sumber : Hasan bin Ahmad Hammam, et al. “Terapi dengan Ibadah”. hal: 421-423.
[1] Lihat
Al-Jauhri, Ash-Shihah, Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Al-Jurjani, At-Ta’rifat, hal. 138, dan
Ar-Raghib, Al-Mufradat, hal. 278.
[2] An-Nawawi,
Syarah Muslim: VII/48.
[3]
Al-Ibsyaihi, Al-Mustahtraf: I/10.
[4]
Ibid.
[5]
Ghazali, Ihya ‘Ulum Ad-Din: I/226.
[6] Al-Ibsyaihi,
Al-Mustahtraf.
[7] Al-Ibsyaihi,
Al-Mustahtraf.
[8]
Muhammad Hamid Abdul wahhab, At-Tijarah
Ar-Rabihah.
[9] Ibid.
[10]
Abu Hatim As-Sabti, Raudhah Al-‘Uqala’ wa
Nuzhatul Fudhala’.
[11]
Ibid.
wahh good info banget nih
BalasHapusKarawang Industrial Estate